Kenangan
yang sesungguhnya akan terjadi sebagaimana sudah dapat digambarkan. Intuisi
dalam keheningan rawan akan penghapusan sudut pandang. Keheningan yang
mengharap sebuah cahaya tidak akan ada habisnya, semua menjadi ikrar
tersendiri. Bukan untuk mencapai kondisi idealis, sporagis, dan materialis
karena semua itu hanyalah bagian rekaya politik kekuasaan. Permainan ini sangat
menarik dalam menjalankan, karena kemesraan sudah begit erat sehingga apa yang
diinginkan penguasa tinggal mengucapkan nanti akan ditindaklanjuti oleh para
kolega kekuasaan.
Tatanan bangsa sangatlah dinamis untuk
merumuskan. Begitu rumit penyelesaian masalah yang dihadapi, hati nurani tidak
lagi dipakai dalam merumuskan solusi, kepentingan pribadi dan kelompok selalu
diselimuti didinding sanubari. Entah mengapa semua terjadi sedemikian rupa,
semangat kebangsaan hanya untuk mempolitisasi masyarakat. Semangat
kenegarawanan hanya untuk mobilisasi massa mencapai popularitas. Semangat memperjuangkan
hanya untuk kepentingan atas dasar mengatasnamakan. Semangat toleransi sudah luntur dengan budaya yang
sedang diagungkan mengatasnamakan relevan. Semua sudah berubah dari semula,
semua menjadi perubahan seindah yang diinginkan atas kekuasaan.
Intuisi ini akan sedangkal mungkin
sampai tidak akan terlihat. Hanya dapat dikenang bagaimana indah itu ada,
demokrasi itu berjalan, gotong royong itu membangun, pembangunan itu merakyat,
rakyat itu bernegara, negara itu bermartabat, martabat itu menjaga, menjaga itu
luntur sekarang. Pola pikir yang diterapkan itu membuat dinamika baru dalam
memperbatui sistem. Sistem merupakan sebuah objek dalam kalimat. Subjek yang
sesungguhnya adalah perumus sistem. Sekarang semua terbolak – balik tidak
jelas, menimbulkan kesemwaturan tatanan. Sedikit mengeluarkan pendapat dinilai
menyimpang, makar, tidak toleran, dan sebagainya. Seharusnya perbedaan pendapat
itu dapat ditinjau dari cara berpikir menggunakan logika nurani, bahwa pendapat
yang berbeda itu menurutmu berbeda dengan pemikiranmu atau berbeda dengan
sistem yang ada. Asal usulnya perlu diusut tuntas. Kembali dengan logika nurani
dalam merumuskan sistem, bahwa tidak menghasilkan keuntungan untuk pribadi itu
merupakan sebuah keuntungan.
Solusi dari sebuah permasalahan sering
kali diabaikan antara sebab dengan akibat. Mayoritas yang kita benahi adalah
akibat, karena untuk memperbaiki sebab itu perlu penanganan lanjutan menurut
ilmu yang sekarang beredar. Kebijakan yang beredar membuat masyarakat menjadi
ojek suatu program. Bukankah terbalik hal tersebut, masyarakat merupakan subjek
dan program merupakan objek. Sebab masyarakat dan akibat program. Tapi
kesederhanaan cara berpikir ini tidak ada yang relevan, dasar pemikiran, teori,
teologi, tokoh dan penelitian. Pergolakan sudut pandang sekarang menjadi hal
luar biasa karena merubah struktural konsep dan sistematika mata. Meskinya
aktivis, pejabat negara dan pemerintah sudah paham akan hal itu, tapi lalai
adalah kecenderungan untuk memanfaatkan argumen pembelaan.
Ulas sejarah yang pernah diketahui,
bukan hanya orde baru, orde lama, penjajahan. Tapi seluruh kapasitas negara
Indonesia yang dahulunya nusantara, yang dahulunya nuswantara. Dari majapahit,
demak, pajang, mataram islam atau lebih dalam lagi, coba diperhitungkan
kembali. Jangan mengikuti agenda rekayasa internasional yang engkau sendiri
tidak tahu bagaimana kebingungan yang akan terjadi. Pelajaran sejarah itu
sekarang sudah tidak ada lagi, substansinya pada zaman dimana Sultan Agung,
Pangeran Benawa, Raden Patah, Prabu Brawijaya, Raden Wijaya, Gadjah Mada,
Walisongo, Airlangga dan sebagainya. Kita buram akan pengetahuan itu sendiri.
Mengapa ? karena negarawan juga tidak pernah memperlajarinya.
Konsep “Molimo” coba dianalogi
dan digunakan sebagai dasar kembali. “Sistem Among” coba dipelajari dan
diimplementasi. Sangat Agung seluruh kebudayaan nusantara sehingga tidak bisa
dicapai kembali karena konsep materialisme, sekuralisme, kapitalisme,
neofeodalisme dan seterusnya. Jadilah manusia yang benar manusia sehingga
engkau bisa memperoleh konsep manusia. Konsep nusantara mengajarkan bahwa “didalam
jiwa yang sehat, terdapat tubuh yang sehat”. Jadi rohaninya ditata kembali,
nusantara akan terlahir kembali dengan sejarah yang terjadi.
Baca juga : Mengistiqomahkan Bacaan
Comments
Post a Comment