Dilalap Keadaan

  Penulis : Nova Alfian Hariyanto

        Kemanusiaan yang adil dan beradab. Diawali dengan pancasila sila ke – 5 merupakan puncak dari kesatuan dari beberapa tahap ketatanegaraan. Masyarakat memiliki daya tahan untuk mempertahankan diri dari alur hegemoni yang semakin menjadi lebih terkoneksi dan tertata rapi. Mereaksikan sistem dan merefleksi cara berpikir, mneginisiasi informasi dan mendekomposisi plagiasi, menginduksi bahaya dan mengoptimalisasi cahaya, mengadisi suasana dan mengomplekan dinamika. Begitu sederhana dalam tulisan seluruh permasalahan digambarkan, diteorikan, disusun dan dicari solusinya.

            Tepi jalan raya membawa suasana hangat, hening dan haru untuk berbagai retorika. Mereka yang memberikan segala potensi dan memperbaiki diri. Mekanisme sederhana sekarang sudah menurun, menghilang dan tergantikan oleh penjajahan yang kita terima dengan senang, bahagia maupun terkesan sangat mengagumkan. Peranan seluruh pihak diperlukan sehingga cita – cita luhur segera dicapai, atau sengaja untuk mencapai cita – cita luhur cukup seperti ini, atau ini adalah puncak dari cita – cita luhur, atau seperti apa cita – cita luhur yang diinginkan meski sudah terdapat landasan.

            Kesederhanaan cara berpikir, berkehidupan, bersosial – budaya dan sebagainya. Mereka ingin memberikan arahan bahwa kesederhanaan itu penting. Anjungan bahwa gaya sekarang merujuk dengan konsep materialisme. Cara pandang sedikit dirubah arah produk supaya bersama – sama menyukseskan konsep yang telah dibangun. “ makan dengan sederhana dilandasi syukur selalu diciptakan”. Bukan untuk memberikan konsep jajahan karena seluruhnya itu menjajah dalam dirimu. Logikanya kamu akan dipengaruhi oleh beberapa konsep yang itu ada hal baik dan buruk, akan tetapi keputusan yang terpenting adalah dari dalam dirimu supaya kedualatan dalam sistem diri terbangun. Kata lain konsep yang masuk dalam diri kita (input) merupakan jajahan dari luar diri masuk kedalam diri kita, akan menghasilkan (output). Maka berdaulatlah atau merdekalah.

            Gelisah, hati gundah, campur aduk hingga merasa dititik jenuh merupakan bentuk dinamika, selalu mengharuskan bersyukur. Kenapa harus bersyukur ? lantas mengapa hal demikian harus kita rasakan ? rasa males sesungguhnya adalah ketidakmampuan dalam menghadapi sesuatu atau hal yang baru atau tekanan yang baru. Nanti akan dihasilkan beberapa substansi dengan menggunakan konsep – konsep spiritual dan akal. Individu dan kelompok ada yang harus diprioritaskan dan dibiasakan. Karena penjajahan itu ada sejak kita lahir didalam diluar dalam diri ada penjajahan dalam berbagai bentuk. Bisa dikatakan budaya asli itu merupakan penjajahan terhadap diri kita masing – masing. Akan tetapi ada penjajahan yang baik untuk diterima dan buruk untuk kita tolak. Kedaulatan diri haruslah dikonseptualkan sebagai perisai diri, pembantu diri, prinsip diri, dan keseimbangan diri.

            Sering orang tua kita memberikan “wejangan” atau kalimat keharusan dengan berbagai bahasa. Salah satunya“lee seng ati – ati, sinau o seng pinter ojo lali sholat”. Ini selalu melekat didalam perilaku sehari – hari, mayoritas sekarang selalu mengedepankan sinau, sholatnya diletakkan dibelakang. Pengaruh besar ini harus ditata kembali dengan konsep sama dengan meletakkan kata atau kalimat sesuai penempatan agar mempengaruhi perilakunya. Urusan sinau lebih condong ke daerah jasadiyah, untuk urusan sholat lebih condong ke daerah rohaniyah. Kita tahu bahwa untuk memperbaiki kehidupan haruslah dengan memperbaiki rohaniyah, maka jasadiyah akan mengikuti.

Pembenahan kalimat menurut saya yakni “lee seng ati – ati, sholat o ojo lali sinau o seng pinter”. Ada 3 konsep yang terkandung dan dapat diuraikan. Pertama, “lee seng ati – ati...”  didalam kehidupan ini banyak hal yang kita tidak tahu daripada yang tahu, karena yang kita harus lakukan adalah sebesapa besar hal yang harus kita syukuri. Tidak semua hal yang telah diperoleh dapat kita syukuri. Kebenaran yang sekarang ini ada belom tentu itu merupakan benar yang sejati, benar sejati adalah milik Allah swt dan kita hanya mencoba mendekati kebenaran itu sendiri. Maka konsepnya adalah kebenaran yang sekarang ini ada mungkin adalah kesalahan yang belom kita ketahui. Bolak – baliknya kebenaran atau kesalahan sekarang ini sering terjadi, dengan pandangan materialis, sekularis, kapitalis maupun sosialis. Setidaknya ketika didalam maupun diluar rumah orang disekitar kita merasa aman itu sudah cukup. Kebijaksanaan dan kemesraan diutamakan meski tahu akan kebenaran.

Kedua, “... sholat o ....” sholat merupakan urusan rohaniyah. Sebelum sholat kita harus ambil wudhu, suci dari hadast, dan memenuhi syarat lainnya. Puncak dari sholat adalah kekhusyu’an dan melahirkan kemesraan serta keindahan. Bagaimanapun dan apapun mendidikan sholat itu yang diperintahkan bukan menilai bagaimana dan apapun sholat itu sendiri. Maka dapat dianalogikan kita mencari input dari kehidupan, mencharge, merestart, membenahi, merefleksi, merotasi, mentranslasi, membumi yakni sebuah kebenaran. Kebenaran tidak dapat berdiri sendiri, karena kebenaran manusia itu bukan sebenar – benarnya benar. Jadi didalam kehidupan tidak bisa mendebatkan kebenaran yang dapat dilakukan hanyalah berdiskusi mencari kebenaran. Diskusi tidak untuk mencari menang atau kalah, karena tataran yang paling tinggi adalah kemesraan dari kebenaran. Setelah kehidupan itu ada kebenaran dan keburukan maka kita persiapkan dengan konsep rohaniyah terlebih dahulu.

Ketiga, “ ... ojo lali sinau seng pinter” kalimat terakhir ini merupakan urusan jasadiyah. Landasan kebenaran sudah diketahui dan rohaniyah sudah tertata kuat dalam menjalankan kehidupan. Ketika dalam keadaan kesusahan, kesulitan, kesedihan, keterpurukan, dan lain sebagainya. Sudah punya dasar bahwa itu semua merupakan dinamika kehidupan. Perlu diketahui bahwa didalam Al – Qur’an surah Al – Insyirah ayat ke 5  dengan arti kurang lebih “bersama kesuliatan ada kemudahan” diulangi lagi dalam aya ke 6. Logika sederhananya bahwa kemudahan itu ada kalau kita merasakan kesuliatan, kebahagiaan itu ada kalau kita merasakan kesedihan, dan seterusnya. Ada pertanyaan semisal “kalau saya tidak kuat menghadapi beban yang dihadapi apa yang harus dilakukan?”. Ada dua pilihan yang dapat kita minta kepada Allah swt. Yaitu kita meminta dikuatkan diri atau meminta diturunkan bobot beban yang dihadapi. Konsep lain menjelaskan bahwa Allah swt tidak akan memberikan beban diatas kekuatan hambanya. Maka pilihan yang lebih tepat adalah meminta dikuatkan diri untuk menghadapi dinamika kehidupan tersebut. Ini merupakan output dari wejagan yang disampaikan oleh orang tua kita. 

Kehidupan ini merupakan jalan kemesraan yang diciptakan Allah swt dengan makhluknya. Didalama Al – Qur’an surat Al – Isra’ ayat pertama yang artinya “ Maha Suci Allah swt yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil haram ke Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda- tanda Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”. Jadi ketahui bahwa kita ini diperjalankan oleh Allah swt, permasalahan kehidupan, hutang, kesedihan, dan seluruhnya sudah dipersiapkan solusi sesuai kebutuhan dengan tepat dan akurat. Sehingga kita diharuskan ridha sama Allah swt maka Allah swt akan ridha kepada kita.

Baca juga : Kesemrawutan Tatanan Bangsa

                Mengistiqomahkan Bacaan

Comments