Penulis : Nova Alfian Hariyanto
Asal kata dan muara melalui proses selalu dinikmati oleh setiap individu
dengan cara yang berbagai macam dalam mengekpresikan. Dalam berbagai segi
kehidupan, kemungkinan untuk menjalankan atau mengkritik, membenarsalahkan,
memuji atau menghakimi, memaksa atau moderat, memerintah atau diperintah,
karena hakikatnya kehidupan adalah keseimbangan yang pasti. Alam semesta ini
diciptakan dengan teori keseimbangan antara makhluk hidup dan benda yang
seolah-olah mati. Karena seluruh yang diciptakan selalu bertasbih kepada Allah
swt dengan cara masing – masing. Semisal kita marah adalah cara bersyukur yang
lumayan rendah dibandingkan dengan kita nriman atau bersabar. Rasa
marah, benci, iri, mencaci dan sebagainya selalu didasari dengan proses untuk mencapai
syukur karena hakikat seluruhnya patuh dengan konsep kesetimbangan alam dengan
kata lain Sunnatullah.
Berangkat dari kesadaran berpikir yang senantiasa dibolak-balikan
dengan keadaan yang ada. Beberapa konsep akan terus mengolah kepribadian untuk
menemukan suatu keindahan menurut masing-masing individu. Penemuan itu juga
dapat dinuansakan sebagai kebenaran personal yang belum tentu menjadi kebenaran
masyarakat. Adanya musyawarah mufakat memang ditujukan sebagaimana kehidupan
memang harus untuk dimusyawarahkan, bukan saling ketergantungan satu sama lain.
Alasan sederhana memiliki prinsip yang diyakini kebenaran harus juga memiliki
konsep yaitu kesalahan memang diciptakan untuk menyadarkan, mengingatkan dan
menghimbau kita bahwa “al hakku mirabbika” kebenaranmu itu adalah
pinjaman dari Tuhan, dan bisa diambil lagi oleh Tuhan dengan skema yang tidak
kita ketahui tapi dapat kita rasakan.
Jalinan kasih yang selalu diusahakan oleh seluruh elemen masyarakat
memberikan sebuah irama. Ketidaktahuan akan kemana arah angin yang selalu
berhembus, kita sadari bahwa angin dengan matriks indra belum bisa dilihat akan
tetapi bisa dirasakan. Begitupun saat kita melakukan aktivitas kehidupan untuk
memenuhi hak dan kewajiban sebagai manusia. Tahapan dari bangun tidur sampai
menjelang tidur kembali perlu refleksi yang khusus. Pada tahapan mana hal dalam
sehari ini bisa digunakan menjadi indikator individu berbuat baik, apakah waktu
niatnya atau waku persiapan atau waktu memakai pakaian dan sepatu, atau waktu
bekerja/aktivitas, atau waktu sarapan dan makan, ataubahkan waktu keringat kita
keluar, atau juga waktu kita mengucapkan sesuatu yang membuat teman kita
semangat bekerja, atau do’a dari orang tercinta. Seluruh kemungkinan itu
nilainya relatif sama dan kita tidak tahu mana yang diterima dan mana yang
ditolak. Alangkah indahnya jika kita selalu teringat akan kalimat “Aku
dekat, lebih dekat dari saraf lehermu” dengan pemaknaan pelbagai keindahan
dan kemesraan.
Destruktif sosial semakin tahun semakin meningkat, dalama grafik
dapat diuraikan kenaikan tersebut dipicu karena berbagari faktor diantaranya
individualisme, pangkat dan jabatan, harta benda dan keinginan hidup yang
overmewah. Perlu diusik sedikit mengenai kehidupan dengan menyinggung strata
sosial. Pengkastaan ini sering dihilangkan dan sering digelontorkan, tergantung
kepentingan dan cara pandang sebuah keseimbangan masyarakat. Kemiskinan,
pengangguran dan kesimpangsiuran mari kita atasi dengan kebersamaan karena
dalam hati kita terlintas “disaat aku lapar, kasihlah aku makan, disaat aku
haus bawakan minum untukku”. Interpretasi ini sangat dinamis karena bagi
individu sudut pandang selalu digunakan dalam dasar mengambil keputusan. Dia
lupa akan jarak dan lingkar pandang yang seharusnya juga diperhatikan sehingga
dalam mentadabburi esensinya dapat mendekati kebenaran.
Waktu memang sangatlah cepat, bekal yang dipersiapkan harus ditata sedemikian rupa, akan tetapi bekal yang paling indah untuk ditanamkan kepada anak cucu kita adalah ilmu agama.
Baca juga :
Comments
Post a Comment